Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan.
Pertumbuhan ekonomi membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya ma-nusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada rezeki nomplok lainnya.
Untuk mendukung berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi.
Kelompok Pembaharu
Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi?
Sejarah mencatat bahwa kelompok ini bisa datang dari latarbelakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha – kaum bourgeoisie – atau kaum borjuis.
Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh. Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral.
Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi .
Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan.
Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan seindependen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat.
Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para ex-aristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern.
Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi.
Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia II.
Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut
Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara tersebut.
Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya.
Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain.
Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas.
Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demokratisasi.